Jumat, 11 Oktober 2013

COPEPODA




COPEPODA
(Makalah Zooplankton TBPH)






Oleh
Aan Pratama
1114111001









JURUSAN BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2013


1.      Pengertian Zooplankton
Zooplankton merupakan anggota plankton yang bersifat hewani, sangat beraneka ragam dan terdiri dari bermacam larva dan bentuk dewasa yang mewakili hampir seluruh filum hewan. Zooplankton memiliki ukuran yang lebih besar dari fitoplankton (Nontji, 1987).
Effendi (1997) membagi ukuran zooplankton dengan ketentuan khusus, yaitu makrozooplankton yang berukuran lebih besar dari 2 cm, dan mesozooplankton yang berukuran 200 – 20.000 m. Larva ikan maupun ikan-ikan muda yang bersifat planktonik disebut ichtyoplankton umumnya berukuran besar. Umumnya zooplankton mempunyai alat gerak seperti flagel, cilia atau kaki renang, namun tidak dapat melawan pergerakan air (Raymont, 1963).
Zooplankton melakukan migrasi secara vertikal. Migrasi vertikal ialah migrasi harian yang dilakukan oleh organisme zooplankton tertentu ke arah dasar laut pada siang hari dan ke arah permukaan laut pada malam hari. Rangsangan utama yang mengakibatkan terjadinya migrasi vertikal harian pada zooplankton adalah cahaya. Cahaya mengakibatkan respon negatif bagi para migran, mereka bergerak menjauhi permukaan laut bila intensitas cahaya di permukaan meningkat. Sebaliknya mereka akan bergerak ke arah permukaan laut bila intensitas cahaya di permukaan menurun (Prasad, 1956).
Brooks (1969) menjelaskan bahwa zooplankton yang meliputi semua hewan yang umumnya renik adalah bersifat herbivora yang memakan fitoplankton. Hampir seluruh zooplankton sangat tergantung pada fitoplankton dan pada trophic level, zooplankton menempati tingkat kedua setelah fitoplankton (Davis, 1955).
Struktur komunitas dan pola penyebaran zooplankton dapat dijadikan sebagai salah satu indikator biologi dalam menentukan perubahan kondisi perairan.

2.      Copepoda
Copepoda merupakan kelompok entomostracan dengan jumlah spesies terbesar, yaitu sekitar 8.400 spesies, sebagian besar hidup bebas dan sekitar 25% nya sebagai ektoparasit. Kebanyakan copepod terdapat di laut dan sebagian lagi di air tawar, baik sebagai plankton maupun fauna interstisial.

Klasifikasi Copepoda
Secara taksonomi copepoda termasuk ke dalam klasifikasi sebagai berikut:
Kingdom         : Animalia
Filum               : Arthtropoda
Subfilum         : Crustacea
Kelas               : Maxillopoda
Subkelas          : Copepoda
Superordo       : Gymnoplea
Ordo                : Calanoida

Copepoda adalah kelompok zooplankton yang memegang peranan penting dalam rantai makanan pada suatu ekosistem perairan. Dalam industri pembenihan ikan laut dewasa ini, copepoda mulai banyak dimanfaatkan sebagai pakan alami untuk larva ikan. Copepoda cocok sebagai pakan larva ikan karena selain mempunyai nilai nutrisi yang tinggi juga karena ukuran tubuh yang bervariasi sehingga sesuai tingkat perkembangan larva ikan. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa copepoda dapat meningkatkan pertumbuhan larva ikan laut yang lebih cepat dibandingkan rotifer dan Artemia (Lavens dan Sorgelos, 1996)
Copepoda kaya akan protein, lemak, asam amino esensial yang dapat mempercepat pertumbuhan, meningkatkan daya tahan tubuh serta mencerahkan warna pada udang dan ikan. Keunggulan copepoda juga telah diakui oleh beberapa peneliti lain, karena kandungan DHA-nya yang tinggi, dapat menyokong perkembangan mata dan meningkatkan derajat kelulushidupan larva. Copepoda juga mempunyai kandungan lemak polar yang lebih tinggi dibandingkan dengan Artemia sehingga dapat menghasilkan pigmentasi yang lebih baik bagi larva ikan (Mcevoy dkk., 1998 dalam Umar, 2002).

3.      Ciri-ciri Copepoda
Hewan terkuat di dunia copepoda hanya memiliki panjang 1 milimeter. Kesuksesan evolusi copepoda sangat terkait dengan kemampuan melarikan diri dari predator.
Copepoda merupakan krustacea yang sangat banyak dijumpai diantara fitoplankton dan pada tingkat tropik yang tinggi pada ekosisitem. Copepoda dewasa berukuran antara 1 dan 5 mm. Tubuh copepoda berbentuk silindrikonikal, dimana anterior lebih lebar. Bagian depan meliputi 2 bagian yakni cephalotoraks (kepala dengan toraks dan segmen toraks ke enam) dan abdomen yang lebih kecil dibandingkan cephalotoraks. Pada bagian kepala memiliki mata di bagian tengah dan antenna yang pada umumnya sangat panjang. Copepoda yang bersifat planktonik pada umumnya suspension feeders (Lavens dan Sorgeloos, 1996).
Siklus Hidup Copepoda jantan pada umumnya lebih kecil dibandingkan copepoda betina. Selama melakukan reproduksi atau kopulasi, organ jantan berhubungan dengan betina dengan adanya peranan antenna, dan meletakkan spermatopora pada bukaan seminal, yang dilekatkan oleh lem semen khusus. Telur-telur umumnya lebih dekat ke bagian kantung telur. Telur-telur ditetaskan sebagai nauplii dan setelah melewati 5-6 fase nauplii (molting), larva akan menjadi copepodit. Setelah copepodit kelima, akan molting lagi menjadi lebih dewasa. Perkembangan ini membutuhkan waktu tidak kurang dari satu minggu hingga satu tahun, dan kehidupan copepoda berlangsung selama enam bulan sampai satu tahun (Lavens dan Sorgeloos, 1996). Dalam satu siklus hidup copepoda memerlukan waktu selama kurang lebih 6-7 hari (Anindiastuti dkk., 2002).
Apabila kondisi tidak memungkinkan untuk kelangsungan hidup, copepoda akan memproduksi cangkang atau telur dormant (istirahat) seperti halnya kista. Hal ini juga menyebabkan tingkat survival berlangsung dengan baik walapun kondisi lingkungan tidak mendukung contohnya pada suhu dingin (Lavens dan Sorgeloos, 1996).

4.      Cara Reproduksi
Reproduksi dan perkembangan Copepoda Dioecious. Betina mempunyai sebuiah atau sepasang ovary dan sepasang seminal receptacle. Copepod jantan yang hidup bebas biasanya mempunyai sebuah testes dan membentuk spermatofora.

Pada waktu kopulasi, copepod jantan memegang yang betina dengan antenna pertama atau kaki renang keempat atau kelima yang berbentuk capit, dan melekatkan spermatofora pada betina pada pembuahan seminal receptacle. Sekali kopulasi dapat digunakan untuk membuahi 7 sampai 13 kelompok telur. Telur yang telah dibuahi dierami dalam sebuah atau sepasang kantung telur. Tiap kantung telur berisi antara 5 sampai 50 butir telur. Cyclops mengerami telur sampai selama 12 jam sampai 5 hari, maka kantung telur hancur dan keluarlah larva yang disebut nauplius. Kemudian copepod betina tersebut akan menghasilkan kantung baru dan kelompok telur baru. Stadia nauplius sebanyak 5 atau 6 instar, kemudian menjadi copepodidi sebanyak 5 instar, dan akhirnya menjadi dewasa. Copepod dewasa tidak mengalami pergantian kulit. Perkembangan dari telur sampai dewasa memakan waktu antara satu minggu sampai satu tahun. Copepod hidup bebas berumur antara 6 bulan sampai satu tahun lebih. Untuk mempertahankan diri terhadap lingkungan buruk, beberapa caponoid dan harpaticoid air tawar menghasilkan telur dengan cangkang tipis dan telur dorman dengan cangkang tebal. Jenis air tawar yang lain, ada instar copepodid atau dewasa melakukan estivasi dengan membungkus diri dengan selubung organic yang keras dan menjadi siste. Selain untuk mempertahankan diri terhadap lingkungan buruk, telur dorman atau siste juga merupakan sarana penyebaran keturunan.
Copepod hidup bernafas dengan permukaan tubuh. Kelenjar makila merupakan alat ekskresi. Tidak ada jantung ataupun pembuluh darah. Darah beredar dalam hemocoel karena adanya gerakan otot, apendik saluran pencernaan. Hanya calanoid yang mempunyai jantung semacam kantung. Susunan syaraf terpusat, dan benang syaraf tidak melewati thorax. Copepoda yang hidup sebagai parasit lebih dari 1000 spesies. Kebanyakan sebagai ektoparasit, namun banyak juga sebagai endoparasit dalam tubuh polychaeta, usus leli laut, saluran pencernaan tunica dan kerang, bahkan pada crustacea lain. Endoparasit acapkali tidak mempunyai mulut, dan makanan diabsorbsi langsung dari inang.
Beberapa jenis copepoda telah dikembangkan untuk dibudidayakan khususnya di manca negara. Copepoda tersebut termasuk kelompok harpacticoid dan calanoid.
Perairan Indonesia kaya akan kehadiran berbagai jenis copepoda, memiliki peluang besar untuk memilih jenis pakan hidup yang unggul sebagai pakan alternatif atau pengganti Artemia yang saat ini harganya kian melambung.
Menurut Sutomo (2003), copepoda laut jenis Tigriopus brevicornis, dapat hidup pada kisaran salinitas yang cukup luas yakni mulai dari 10 sampai 40 ppt, namun pada salinitas 10 ppt tidak didapatkan copepoda yang bertelur. Hasil penelitian lain menyatakan bahwa copepoda dapat dikultur di air laut dengan salinitas 25-30 ppt (Lavens dan Sorgeloos, 1996).
Menurut Anindiastuti dkk. (2002), untuk mengkultur copepoda pada skala laboratorium sebaiknya menggunakan air laut yang steril bersalinitas 25 ppt. Sementara itu copepoda di perairan umum dapat hidup pada salinitas antara 26,50 dan 35,67 ppt (Levinton, 1982 dalam Umar, 2002). Dengan demikian, salinitas yang optimum untuk perkembangan copepoda laut belum diketahui secara pasti.



DAFTAR PUSTAKA


Anindiastuti, Kadek Ari W. & Supriya, 2002. BudidayaMassal Zooplankton. dalam Budidaya Fitoplanktondan Zooplankton. Balai Budidaya Laut Lampung,Dirjen Perikanan Budidaya. Dep. Kelautan danPerikanan. Seri Budidaya Laut 9 : 78-96.

Davis, 1955. The Marine And Fresh Water Plankton. Michigan State University Press. United State Of America.

Lavens P, P Sorgeloos. 1996. Manual on the production and use of live food for
aquaculture. FAO, Fisheries Technical Paper. No. 361. Rome, FAO. pp. 7 -42.

Nontji, Anugerah, Dr. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta

Raymont, J. E. E. 1983. Plankton and Productivity in the Ocean. 2nd
 edition. Pergamon Press, Oxford. 770 pp.

Sutomo. 2003.Pengarus Salinitas dan Jenis Mikroalga (Chaetoceros gracilis dan Nannochloropsis oculata) Terhadap Perkembangan Naupli dan Pertumbuhan Copepoda (Tigriopus brevicornis)

Umar, C. 2003. Struktur Komunitas dan Kelimpahan Fitoplankton dalam Kaitannya dengan Kandungan Unsur Hara (Nitrogen dan Fosfor) dari Budidaya Ikan dalam Keramba Jaring Apung di Waduk Ir. H. Juanda Jatiluhur Jawa Barat. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. 94 p


Selasa, 08 Oktober 2013

FORMULASI 
PAKAN IKAN 


 Komposisi pakan buatan disusun berdasarkan 
kebutuhan zat gizi setiap jenis ikan maupun udang. 
Komposisi ini sering disebut formulasi pakan. Formulasi 
yang baik berarti mengandung semua zat gizi yang 
diperlukan ikan dan secara ekonomis murah serta mudah 
diperoleh sehingga memberikan keuntungan. Penyusunan 
formulasi pakan terutama memperhatikan nilai 
kandungan protein karena zat ini merupakan komponen 
utama untuk pertumbuhan ikan. Setelah diketahui 
kandungan protein dari pakan yang akan dibuat maka 
langkah selanjutnya adalah perhitungan untuk komponen 
zat-zat gizi yang lain

Senin, 07 Oktober 2013

Laporan FRHA

REPRODUKSI IKAN GUPPY DAN CUPANG DENGAN PENGAMATAN HISTOLOGI MENGGUNAKAN METODE ASETOKARMIN 
Aan Pratama 
1114111001

  ABSTRAK 
Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui struktur morfologis dan histologis gonad ikan guppy dan cupang. Struktur morfologis gonad jantan dan betina dideskripsikan berdasarkan ukuran, keadaan permukaan,warna dan tingkat kepenuhan dalam abdomen. Struktur histologis gonad jantan dicirikan dengan adanyaspermatosit, spermatid dan spermatofor dengan metode pewarnaan asetokarmin, sedangkan gonadbetina dideskripsikan berdasarkan perkembangan oosit, keadaan nukleus, dan deposit kuning telur denganmetode pewarnaan asetokarmin. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa secara morfologis testes berwarna putih kecoklatan, permukaan halus, sedangkan ovarium berwarnaputih, abu-abu sampai merah tua, permukaan halus sampai kasar.Secara histologis, pada testes terlihat adanya spermatosit, spermatid, dan spermatozoa yang terbungkusdalam spermatofor, sedangkan pada ovarium terlihat adanya oosit yang berada pada stadia awal sampai berkembang.Pada praktikum ini untuk pengamatan bentuk gonad digunakan ikan guppy dan ikan cupang. Praktikum ini dilakukan pada tanggal 29 April 2013 di Laboratorium Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung. kata kunci : asetokarmin, gonad ikan guppy, gonad ikan cupang, spermatozoa. 

I. PENDAHULUAN 
Teknik pembedaan jenis kelamin antara lain dapat dilakukan dengan pemeriksaan ciri-ciri kelamin dan pemerikasaan gonad. Identifikasi gonad untuk ikan dewasa relatif mudah dilakukan karena ukuran gonad yang cukup besar. Namun pada ikan muda yang ukuran gonadnya kecil biasanya harus melalui metoda khusus Salah satu teknik dalam pemeriksaan gonad ikan-ikan kecil yaitu dengan pewarnaan gonad dengan menggunakan larutan asetokarmin. Asetokarmin adalah larutan pewarna yang digunakan untuk mewarnai gonad untuk pemeriksaan dengan mikroskop. Metoda ini memiliki beberapa kelebihan antarra lain, praktis, mudah, dan cepat pengerjaannya, tidak perlu peralatan khusus, dan relatif mudah. Oleh karena itu pemahaman dan penguasaan dalam keterampilan pemeriksaan gonad metoda asetokarmin sangat diperlukan. Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui bentuk dari gonad ikan baik jantan maupun betina secara primer. 

II. TINJAUAN PUSTAKA
 a. Pengertian Asetokarmin Asetokarmin merupakan salah satu modifikasi teknik pewarnaan yang paling populer terutama dalam bidang sitogenetika untuk penelaahan kromosom (Gunarso, 1989). Pewarna asetokarmin terdiri dari bubuk karmin dan asam asetat 45%. Karmin merupakan zat warna yang terbuat dari eksrak kochinil yang merupakan hasil gerusan serangga Coccus cacti yang dikeringkan (Gunarso, 1989). Identifikasi gonad dengan larutan asetokarmin dibuat hanya dilakukan untuk tujuan penelitian atau mencari data awal (Zairin Jr., 2002). 
b. Fungsi Asetokarmin Larutan asetokarmin berfungsi sebagai pewarna yang digunakan untuk mewarnai jaringan pada gonad ikan. Karena asetokarmin berwarna merah terang. Sehingga mempermudah mengamati jaringan gonad ikan. 
c. Histologi Ikan Cupang dan Ikan Guppy Gonad jantan pada ikan B. splendens(ikan cupang) memiliki bentuk yang lebih kecil dan halus serta terlihat letak sperma yang menyebar dalam jumlah yang banyak. Gonad jantan didominasi oleh jaringan ikat dan terdapat tubulus seminifer. Berbeda dengan gonad betina yang memiliki bentuk bulat dan oval dengan inti di tengahnya, dalam lamella terdapat septa sebagai penunjang, sitoplasma lebih tebal dan terdapat beberapa nukleus. Memiliki ukuran gonad lebih besar dari gonad jantan. Pada ikan dari genus Poeciliata(ikan guppy) terdapat kesamaan ciri (Jatilaksono, 2008). 

III. METODOLOGI 
 a. Waktu dan Tempat Praktikum ini dilaksanakan pada tanggal 29 April 2013 pada hari senin pukul 15.00-17.00 di Laboratorium Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

 b. Alat dan Bahan Pada praktikum ini digunakan alat dan bahan seperti, mikroskop, alat bedah ikan (guppy dan cupang), larutan asetokarmin, albumin, tissue, gelas obyek dan gelas penutup, pipet tetes.

 c. Metode Kerja 
 1. Pembuatan Larutan Asetokarmin 
• Larutan 0,6 bubuk karmin dalam 100 ml asam asetat glacial 45% 
• Didihkan selam 2-4 menit kemudian didinginkan. 
• Stealah dingin larutan disaring mengguanakn kertas saring untuk memiosahkan partikel kasarnya. 
• Simpan larutan dalam botl yang ditutup rapat dan simpan pada suhu ruang. 2. Pemeriksaan Gonad
• Ambil ikan kemudian bedah. 
• Isi perut diangkat gonad yang terletak dibawahnya terlihat. 
• Letakkan gonad diatas gelas obyek yang telah diolesi albumin. 
• Beri larutan asetokarmin 2-3 tetes. 
• Cincang gonad dengan pisau skapel sampai halus kemudian tutp dengan gelas penutup. 
• Gonad siap diamati dibawah mikroskop. 

 IV. PEMBAHASAN 
Karakteristik gonad jantan dan betina sangat berbeda. Gonad jantan memiliki ukuran kecil, berwarna putih susu, dan berpasangan. Gonad betina agak mirip gonad jantan, tetapi berwarna agak kekuningan dan diselubungi lemak. Bentuknya relatif hampir sama untuk semua jenis ikan. Kadang-kadang di dalam gonad yang sama dapat dijumpai sekaligus bakal testis dan bakal ovari. Dengan pewarnaan asetokarmin, sel bakal sperma tampak berupa titik-titik kecil berjumlah banyak. Sel bakal telur tampak berbentuk bulatan besar dan bagian inti berada ditengah dengan warna lebih pucat dikelilingi sitoplasma yang berwarna merah. Teknik pembedaan jenis kelamin dapat dilakukan dengan pewarnaan gonad menggunakan larutan asetokarmin. Larutan ini berfungsi untuk memudahkan identifikasi gonad ikan. Metoda ini memiliki beberapa kelebihan antara lain praktis, mudah, tidak perlu peralatan khusus dan relatif murah. Identifikasi gonad untuk ikan dewasa dapat dilakukan dengan mudah karena ukuran gonad yang relatif besar, namun untuk ikan kecil biasanya harus melalui metoda khusus. Penentuan jenis kelamin dipengaruhi oleh dua faktor yaitu lingkungan dan genetis.Acetokarmin merupakan salah satu modifikasi teknik pewarnaan yang digunakan untuk mewarnai gonad untuk pemeriksaan dengan mikroskop. Metode ini memilik beberapa kelebihan antara lain, praktis, mudah dan cepat pengerjaannya, tidak perlu peralatan khusus dan relative mudah.(Anonim,2011). Dalam metode ini, gonad ikan diambil untuk diperiksa. Setelah gonad terambil, maka dicacah dan ditetesi 2-3 tetes asetokarmin yang diletakkan di objek glass. Setelah dicacah ditutup cover glass dan diamati dibawah mikroskop. Pada praktikum ini terdapat kendala seperti tidak teridentifikasinya gonad baik jantan maupun betina dikarenakan pewarnaan pewarnaan yang kurang tepat serta mikroskop yang ada dilaboratorium yang tidak dapat digunakan secara maksimal dikarenakan cuaca yang pada saat praktikum hujan sehingga tidak terdapat cahaya matahari yang akan digunakan untuk pengamatan dengan mikroskop cahaya. Dan juga tingkat kesulitan dalam menemukan gonad ikan yang ukurannya kecil, karena gonad ikan kecil relatif kecil sehingga sulit untuk diambil. Kelemahan metode asetokarmin ini yaitu ikan yang diambil gonadnya harus dimatikan (Zairin Jr., 2002). Pada gambar yang diperoleh menunjukan bahwa pada gonad jantan memiliki bentuk yang lebih kecil dan halus serta terlihat letak sperma yang menyebar dalam jumlah yang banyak. Berbeda dengan gonad betina yang memiliki bentuk bulat besar dengan inti di dalam. Pengamatan gonad yang dilakukan oleh praktikan tidak berbeda jauh dengan gambar gonad pada literatur. Syandri dalam jatilaksono (2008) memaparkan yaitu bahwa gonad betina atau ovarium berbentuk bulat dan oval, dalam lamella terdapat septa sebagai penunjang, sitoplasma lebih tebal dan terdapat beberapa nukleus. Memiliki ukuran gonad lebih besar dari gonad jantan. Sedangkan gonad jantan didominasi jaringan ikat dan terdapat tubulus seminifer. Histology gonad jantan Cupang histology gonad betina Cupang Keterangan : 1. Spermatozoa 2. Nucleus 3. Sitoplasma. 

V. KESIMPULAN DAN SARAN 
Dari praktikum yang sudah dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa pengamatan histologi gonad jantan dan betina menggunakan larutan asetokarmin cukup berhasil dalam artian praktikan mampu membedakan gonad jantan dan betina dengan metode asetokarmin. Saran yang ingin disampaikan oleh praktikan adalah kedisiplinan praktikan dalam melaksanakan praktikum harus lebih ditingkatkan, kemudian asisten dosen harus menyiapkan larutan minyak cengkeh untuk proses anastesi ikan agar tidak terus-terusan menyiksa ikan ketika dibedah. 

DAFTAR PUSTAKA  

Gunarso, Wisnu. 1989. Mikroteknik. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat Institut Pertanian Bogor. 

Jatilaksono M. 2008. Pemeriksaan Gonad Ikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta Junior, Z. M. Sex Reversal Memproduksi Benih Ikan Jantan atau Betina. Depok: Penebar Swadaya. 

Zairin Jr., M. 2002. Sex Reversal Memproduksi Benih Ikan Jantan atau Betina. Jakarta: Penebar Swadaya.

Senin, 15 April 2013

PARASIT JAMUR PADA IKAN

I.                   PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Penyakit ikan merupakan salah satu kendala dalam usaha budidaya perikanan. Hal ini disebabkan karena wabah penyakit dapat menimbulkan kematian ikan maupun udang budidaya. Tingginya tingkat kematian ikan budidaya dapat menurunkan produksi perikanan sehingga nilai pendapatan yang diperoleh menjadi turun jika dibandingkan dengan jumlah modal yang harus dikeluarkan untuk keperluan budidaya seperti pembelian benih, pakan, pembuatan tambak atau kolam, upah tenaga kerja dan lain sebagainya. Disamping itu, ikan yang sakit juga akan memiliki nilai jual yang jauh lebih rendah dari kondisi normal terlebih untuk ikan-ikan yang dijual dalam kondisi hidup seperti kerapu dan lobster.
Berdasarkan penyebabnya, penyakit pada ikan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu penyakit infeksi dan penyakit non-infeksi. Penyakit infeksi merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi patogen kedalam tubuh inang. Patogen penyebab penyakit pada ikan dapat berupa virus, bakteri, parasit dan jamur (Lavilla Pitogo, 2001). Sedangkan penyakit non-infeksi merupakan penyakit yang disebabkan oleh selain infeksi patogen, misalnya penurunan kualitas lingkungan, kekurangan pakan (malnutrisi), dan cacat secara genetik (Erazo-Pagador, 2001).
Organisme yang diserang penyakit pada umumnya berasal dari kelompok hama, parasit, dan non parasit. Namun, yang paling banyak menimbulkan kerugian adalah penyakit yang disebabakan oleh parasit. Penyakit yang disebabakan oleh parasit biasanya sulit untuk dideteksi oleh para petani ikan karena terdapat banyak parasit yang dapat menimbulkan penyakit dengan gejala yang sama. Kerugian yang ditimbulkan oleh parasit bergantung pada beberapa faktor, yaitu umur biota yang sakit, persentase populasi yang terserang penyakit, parahnya penyakit, dan adanya infeksi sekunder. Parasit yang dapat menyerang organisme budidaya adalah dari jenis virus, bakteri, jamur, protozoa, golongan cacing dan udang renik. Serangan parasit biasanya terjadi pada kolam yang kualitas airnya buruk atau kolam yang tidak terawat.
Faktor lain yang membuat serangan parasit susah dicegah adalah minimnya peralatan yang dimiliki untuk mendeteksi parasit tersebut. Hal ini sangat membahayakan para petani ikan karena akan menimbulkan kerugian yang sangat besar. Untuk itu, sebagai mahasiswa yang akan berkecimpung di dunia budidaya perairan, maka perlu dilatih dasar-dasar untuk mendeteksi parasit yang menyerang ikan agar dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari setelah menyelesaikan studinya nanti.

1.2  Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum parasit ini adalah:
1.      Untuk mengetahui jenis-jenis parasit yang menginfeksi ikan
2.      Agar mahasiswa mengetahui cara menanggulangi penyakit pada ikan
3.      Mengetahui gejala klinis ikan yang terserang parasit.


II.          TINJAUAN PUSTAKA


               Menurut definisinya penyakit diartikan sebagai suatu proses atau kondisi yang abnormal dari tubuh atau bagian-bagian tubuh ikan yang mempunyai suatu karakteristik yang membedakannya dengan keadaan normal (Manoppo, 1995). Hama merupakan mikroorganisme atau makroorganisme yang mengakibatkan penyakit atau sering disebut organisme patogen. Lebih lanjut Afrianto dan Liviawaty (1992), menerangkan bahwa penyakit merupakan bagian dari siklus hidup suatu organisme yang bersifat parasit yang menggangu terhadap organisme lain yang ditumpanginya.
               Hama dan Penyakit Ikan (HPI) adalah semua organisme yang dapat merusak, mengganggu kehidupan atau menyebabkan kematian pada ikan, sesuai dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 1992 pasal 1 ayat 3, sedangkan pasal 1 ayat 5 menyebutkan bahwa Hama dan Penyakit Ikan Karantina (HPIK) adalah semua hama dan penyakit ikan yang ditetapkan pemerintah untuk dicegah masuknya ke dalam atau tersebarnya di dalam Wilayah Negara Republik Indonesia.
               Pengendalian penyakit perlu dilakukan secara dini. Berkaitan dengan upaya penanggulangan dan pemberantasan penyakit diperlukan informasi mengenai jenis patogen, jenis ikan yang terserang dan waktu kejadiaannya (Hoffman 1987).
               Infeksi jamur pada ikan  biasanya disebabkan oleh jamur dari genus Spaprolegnia dan Achyla. Jamur biasanya hanya akan menyerang jaringan luar tubuh ikan yang rusak sebagai akibat luka (Ulcer)  atau penyakit lain. Jamur dapat pula menyerang telur ikan. Selain karena luka, kehadiran jamur dapat pula disebabkan atau dipicu oleh kondisi air akuarium yang buruk, baik secara fisik maupun kimia. Ikan-ikan berusia tua diketahui sangat rentan terhadap infeksi jamur. Pada saat ini, dengan banyaknya fungisida (obat anti jamur), maka serangan jamur sedikit banyak akan dapat ditangani dengan lebih mudah. Saat ini, jamur yang termasuk berbahaya dan tergolong Hama Penyakit Ikan Karantina yaitu Aphanomyces astacii. Jamur ini menyebabkan penyakit yang sering disebut EUS (Epizootic Ulcerative Syndrome). Namun masih jarang sekali jamur ini ditemukan (anonim, 2011).
Protozoa merupakan hewan uniseluler yang hidup soliter atau berkoloni, diperkirakan 50.000 spesies Protozoa yang sudah teridentifikasi. Habitat Protozoa adalah air laut, payau, air tawar, daratan yang lembab dan pasir kering. Sebagian besar Protozoa hidup bebas dan menjadi makanan organisme yang lebih besar. Beberapa Protozoa hidup sebagai parasit, diantaranya parasit pada ikan, yaitu : Tichodina, Ichthyoptirius, dan Heneguya (Suwignyo dkk., 1997). Parasit Protozoa dapat besifat fakultatif, obligat, ektoparasit dan endoparasit (Mollers dkk., 1986).
Noble dan Noble (1989), menyatakan bahwa berdasarkan alat geraknya Protozoa dibedakan atas lima golongan yaitu : Sarcomastighopora, Sarcodina, Apicomplexa, Ciliophora dan Myxozoa. Sarcomastighopora mencakup kelompok Mastighopora yang menggunakan flagella sebagai alat geraknya dan meliputi semua Protozoa yang memiliki satu atau lebih flagel pada seluruh stadia dalam siklus hidupnya. Sebagian besar Mastighopora hidup bebas, ditemukan pada berbagai habitat tetapi banyak yang bersimbiosis (komensalisme, mutualisme dan parasitisme) dengan vertebrata dan avertebrata. Mastighopora dibagi dalam tiga kelas, yaitu : Phytomastighopora, Zoomastighopora dan Opalinata. Phytomastighopora yang bersifat parasit pada ikan adalah Amyloodinium pillularis. Parasit ikan yang berasal dari kelas Zoomastighopora adalah Ichtyobodo necatrix yang menginfeksi kulit dan insang berbagai ikan air tawar. Cryptobia menginfeksi insang, usus dan darah ikan air tawar dan air laut (Grabda, 1991).
Platyhelminthes berasal dari bahasa yunani ‘platy’ yang berarti pipih dan ‘helminthes’ yang berarti cacing. Filum ini merupakan kelompok hewan yang peratama kali memeprlihatkan pembentukkan lapisan ketiga (mesodermis). Keberadaan mesodermis pada embrio memungkinkan terbentuknya sebagian besar system organ pada Platyhelminthes. Terbentuknya mesodermis dan system organ bersamaan dengan pembentukkan daerah anterior, posterior dan terjadinya simetri bilateral. Tubuh bagian anterior merupakan bagian yang pertama kali berhadapan dengan lingkungan pada saat berjalan dan mempunyai indera paling banyak dibandingkan posterior (Suwignyo dkk., 1997).
Filum platyhelminthes tidak memiliki organ khusus untuk bergerak. Gerakannya merupakan akibat dari kontraksi kantung dermomuskular. System reproduksi berkembang sangat baik dan mengisi hampir seluruh tubuhnya. Filum Platyhelminthes terdiri dari empat kelas, yaitu Monogenea, Cestodaria, Cestoda dan Trematoda (Grabda, 1991).
Berdasarkan daerah penyebaran, penyakit atau parasit ikan dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu:
1.    Penyakit atau parasit pada kulit.
Penyakit atau parasit ini menyerang bagian kulit ikan sehingga dengan mudah dapat dideteksi. Apabila organisme penyebabnya berukuran cukup besar, maka dengan mudah dapat langsung diidentifikasi. Akan tetapi bila berukuran kecil harus di identifikasi dengan mempergunakan sebuah mikroskop atau dengan mengamati akibat yang timbulkan oleh serangan organisme-organisme tersebut. Biasanya ikan yang terserang akan terlihat menjadi pucat dan timbul lendir secara berlebihan. Organisme yang menyerang bagian kulit dapat berasal dari golongan bakteri, virus, jamur atau lainnya. Bila disebabkan oleh jamur, maka akan terlihat bercak-bercak berwama putih, kelabu atau kehitam-hitaman pada kulit ikan. Ikan yang mengalami serangan penyakit atau parasit pada kulitnya, biasanya akan menggosok-gosokkan badannya kebenda-benda disekelilingnya sehingga sering kali menimbulkan luka baru yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi sekunder. 
2.     Penyakit atau parasit pada insang.
Penyakit atau parasit yang menyerang organ insang agak sulit untuk dideteksi secara dini karena menyerang bagian dalam ikan. Salah satu cara yang dianggap cukup efektif untuk mengetahui adanya serangan penyakit atau parasit pada insang adalah mengamati pola tingkah laku ikan. Ciri utama ikan yang terserang organ insangnya adalah menjadi sulit untuk bernafas. Selain itu, tutup insang akan mengembang sehingga sulit untuk ditutup dengan sempurna. Jika serangannya sudah meluas, lembaran-lembaran insang menjadi semakin pucat. Sering pula dijumpai adanya bintik-bintik merah pada insang yang menandakan telah terjadi pendarahan (peradangan). Jika terlihat bintik putih pada insang, kemungkinan besar di sebabkan oleh serangan parasit kecil yang menempel.
3.     Penyakit atau parasit pada organ dalam.
Ciri utama ikan yang terkena serangan penyakit atau parasit pada organ (alat-alat) dalamnya adalah terjadi pembengkakan di bagian perut disertai dengan berdirinya sisik. Akan tetapi dapat terjadi pula bahwa ikan yang terserang organ dalamnya memiliki perut yang sangat kurus. Jika pada kotoran ikan sudah dijumpai bercak darah, ini berarti pad usus terjadi pendarahan (peradangan). Jika serangannya sudah mencapai gelembung renang biasanya keseimbangan badan ikan menjadi terganggu sehingga gerakan berenangnya jungkir balik tidak terkontrol (Sachlan, 2002).


III.       METODOLOGI

3.1  Waktu dan Tempat
Praktikum parasit dan penyakit organisme akuatik dilakukan pada tanggal 28 maret 2013 pukul 13.00 wib s.d selesai. Bertempat di gedung K, laboratorium budidaya perairan, fakultas pertanian, universitas lampung.

3.2  Alat dan Bahan
Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah alat bedah lengkap 2 buah, pipet tetes, botol film, mikroskop cahaya, ikan yang sakit, formalin 10%, buku identifikasi dan aquades.

3.3  Cara Kerja
Adapun langkah-langkah kerja dalam praktikum ini adalah sebagai berikut:
1.      Parasit
a.       Dikoleksi ikan dan udang dari berbagai sumber, TPI (tempat pelelangan ikan), kolam budidaya, dan tambak.
b.      Untuk ikan yang masih hidup dicatat perilaku ikan dan udang ketika dikolam yang menunjukkan gejala tidak normal.
c.       Dikoleksi parasit dari bagian eksternal; sisik, sirip, dan insang.
d.      Dibedah ikan dan koleksi parasit dibagian internal: saluran pencernaan, kepala, mata.
e.       Diamati parasit dibawah mikroskop
f.       Diidentifikasi parasit
g.      Parasit disimpan kembali dalam botol film yang berisi larutan formalin 10% dan diberi nama parasit, inang, tanggal pengambilan, dan lokasi sampel.
2.      Jamur
a.       Diambil sampel ikan dan udang yang terinfeksi jamur. Sampel bisa dari telur dan larva atau ikan dewasa yang menunjukkan gejala terinfeksi jamur (biasanya terdapat hifae di sekitar tubuh sampel inang)
b.      Diamati tingkah laku ikan di kolam ketika pengambilan
c.       Diamati gejala eksternal dan internal sampel






Minggu, 10 Maret 2013

Tingkah Laku Pemijahan Ikan Discus (Sympishodon SPP)
 

1.    Deskripsi Ikan Discus (Symphisodon spp)

 

 

 

Ikan diskus berasal dari Rio Negro dan perairan tenang Sungai Amazon. Sifatnya omnivora dan gerakannya sangat halus. Ikan inipun terkenal sebagai ’King of Aquarium’. Ikan diskus memiliki fekunditas antara 100-300 butir telur.

Ciri-ciri ikan diskus secara umum antara lain sebagai berikut :
·      Bentuk badan pipih dan seperti lingkaran jika dilihat dari samping.
·      Pola warna disepanjang tubuhnya berupa gari-garis pendek dengan warna garis berbeda-beda sesuai dengan jenisnya.
·      Mata ikan diskus berwarna merah dan garis tengah tubuhnya paling besar 15 Cm.
Bentuk tubuh genus Symphysodon adalah pipih dan melebar. Namun yang membedakan dengan golongan cichlide lainnya adalah selain pipih, ikan genus ini juga membulat atau cenderung seperti lingkaran. Ikan Discus mempunyai variasi warna yang menakjubkan. Selain variasi warna, adanya variasi corak tubuh membuat ikan ini semakin berkelas. Ikan discus mempunyai ketahanan hidup yang cukup lama, yakni kurang lebih  10 tahun jika kondisi air bagus dan tidak terserang penyakit.
Ada empat spesies diskus yang dibudidayakan antara lain Heckel Discus, Brown Discus, Green Discus dan Blue Discus. Suhu yang baik untuk pemeliharaan diskus berkisar 25-300 C. Sementara kisaran kualitas air seperti keasaman (pH) cukup lebar sekitar 5-6, 5 dan kekerasan air lunak antara 3-50dH.


2.    TAKSONOMI IKAN DISCUS

Menurut taksonominya, ikan diskus digolongkan sebagai berikut:

Kingdom        : Animalia
Filum              : Chordata
Kelas              : Actinopterygii
Ordo               : Perciformes
Sub Ordo       : Percoidea
Family                        : Cichlidae
Genus                        : Symphysodon
Species          : Symphysodon discus
Nama lokal    : Diskus

3.    REPRODUKSI IKAN DISCUS

                     

          


Tabel. 1 Perbedaan Induk Jantan dan Induk Betina pada Ikan Diskus
Bagian yang diamati
Ikan Jantan
Ikan Betina
Alat kelamin
Runcing
Lebar dan bulat
Bentuk bibir
Bibir atas lebih menonjol
Simetris dan sama besar antara bibir atas dan bawah
Bentuk hidung
Bentuk agak bengkok
Bentuk lurus
Bentuk sirip dubur
Bentuk lurus
Bentuk bulat
Pola warna
Cerah dan menyebar ke seluruh tubuh
Sedikit warna pada wajah dan badan

Ikan diskus yang siap mijah umumnya ditandai dengan memisahkan diri dari rekan-rekannya dalam satu wadah pemeliharaan. Ikan diskus tergolong ikan yang setia pada pasangannya, karena itu ikan diskus tidak bisa dipijahkan selain dari pasangannya tersebut.Calon induk jantan harus berumur 15 bulan, sedangkan induk betina berumur 12 bulan.
Cara menentukan induk jantan dan betina pada ikan diskus cukup mudah, yaitu dengan meletakkan segerombolan ikan diskus dalam suatu wadah aquarium. Ketika dalam wadah tersebut terdapat sepasang ikan diskus yang menyendiri atau memisahkan diri dari gerombolannya, maka ikan diskus tersebut adalah sepasang indukan jantan dan betina yang siap memijah.
Ikan diskus yang telah siap memijah berukuran 11-14 cm dengan usia 12-18 bulan dengan perbandingan waktu pemijahan adalah 1:1. Induk diskus umumnya memijah pada malam hari, kurang lebih pada pukul 23.00 – 06.00 wib.
Sebelum memijah, induk jantan akan mengejar-ngejar induk betinanya, kemudian kedua induk tersebut akan memilih tempat yang pas atau cocok untuk memijah. Biasanya telur ditempelkan diatas substrat yang sebelumnya telah dibersihkan oleh induk tersebut. Jika dalam hal budidaya, substrat yang digunakan berupa pipa paralon atau pot. Ikan discus dapat memijah pada kisaran suhu 28-300 C. dengan kisaran pH antara 5-6,5.
Induk betina akan bergerak dari bawah sampai keatas pipa paralon atau pot dan akan mengeluarkan telur melalui genital papillae-nya. Hal ini akan diikuti oleh indukan jantan yang akan membuahi telur-telur tersebut dengan cara menyemprotkan spermanya ke telur-telur tersebut.
Jumlah telur yang dikeluarkan dalam sekali memijah dapat mencapai 100-300 butir telur. Setelah telur dibuahi oleh induk jantan, maka ikan discus akan menjaga telur-telurnya tersebut dengan cara kedua induk ini akan mengipas-ngipas ekornya untuk menyuplai oksigendan juga untuk membersihkan telur dari kotoran.
Setelah 2-3 hari, telur-telur tersebut akan menetas menjadi larva ikan yang masih belum bisa berenang atau bersifat planktonik. Setelah berumur 6 hari, larva discus akan mulai beterbangan dan menempel pada tubuh induknya untuk memakan lendir pada tubuh induk sebagai pakan awal ikan discus ini.
Larva akan menempel ditubuh induknya selama 3 minggu (21 hari), setelah larva mampu berenang, larva akan memakan zooplankton seperti naupli artemia. Dalam hal budidaya, naupli artemia diberikan sampai benih berumur satu bulan.